PARADOKS SURVEY DAN ELEKTABILITAS : QUO VADIS ANTARA HASIL JAJAK ELEKTABILITAS DAN HASIL EMPIRIS BEBERAPA PILKADA DI INDONESIA
Abstract
Kecenderungan arah politik konstituen umumnya memang dijajaki dengan metode survey. Survey menjadi instrumen metodologis yang hingga kini dipakai untuk mencoba membaca hati massa dalam populasi yang besar. Survey terhadap sampel yang diambil dari populasi , secara metodologis masih dianggap representatif. Namun, fakta empiris bisa menampilkan realitas yang sama sekali berbeda apa yang diprediksikan oleh hasil jajak pendapat itu. Boleh jadi metode ini jika dihadapkan realitas paradoksal pada berbagai kasus rekrutmen kepala daerah menjadi metode yang gagal. Namun, kiranya patut dicurigai juga betapa kecenderungan arah politik manusia itu bersifat dinamis. Maka hasil kajian pada kurun waktu tertentu, bisa saja berbeda hasilnya dengan kajian pada waktu yang lain, dan bahkan hingga hari H kontestasi.
Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan sumber data adalah data data yang di beritakan oleh media, sehubungan dengan hasil pemilihan kepala daerah di Indonesia. Analisis dengan reduksi data, yakni memilih dan memilah raw material dari sumber data . Hasil analisis akan di deskripsikan dalam bentuk laporan naratif terstruktur. Luaran penelitian ini adalah naskah jurnal yang terpublikasi di jurnal Internal Prodi Ilmu Komunikasi.
Berkaca pada situasi pilkada 2018 yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada hal yang tidak cukup bisa diukur oleh metode survey yaitu faktor emosi publik. Dalam komunikasi massa, factor emosional atau psikologis menjadi salahsatu hambatan dalam komunikasi massa. Sehingga pesan yang disampaikan tidak efektif atau dapat mempengaruhi pereferensi politik. Dalam beberapa kasus di pilkada 2018, faktor emosi publik secara efektif dapat berubah drastis melalui pendekatan agama seperti yang terjadi di Pilgub DKI Jakarta dan pengaruh tersebut berupaya dibawa ke Pilgub Jabar. Isu partai penista agama, pendukung penista agama dan gerakan 212 mempengaruhi psikologi publik yang sangat dominan. Hal ini mendorong terbentuknya silent majority. Mereka merasakan sesuatu yang dipendam tapi tidak terungkapkan. Proses pemilu dimaknai sebagai bagian dari momen menunjukkan identitas diri umat beragama. Demikian sentiment publik dibangun.
Faktor lainnya yang mempengaruhi psikologi atau emosi publik sehingga menimbulkan pergeseran terhadap pereferensi politik adalah faktor moral dan etika. Isu korupsi yang menerpa Ganjar Pranowo menjelang Pilgub Jateng berpengaruh pada preferensi politik masyarakat. Sehingga Sudirman Said dipandang sebagai sosok yang bersih dari isu korupsi. Dengan demikian dapat disimpulkan, hal yang dinamis dapat terus berubah dan sulit untuk diukur yakni faktor emosi publik.